Apakah Anak Hasil Zina Dapat Warisan?
Assalamu’alaikum,
Pak Ustadz, apakah anak yang lahir
karena zina (orang tuanya menikah karena kecelakaan) berhak mendapat warisan?
Mohon jawaban beserta dalilnya.
Terima kasih.
Terima kasih.
Wassalam,
Gunawan
Gunawan
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Para ulama umumnya mengatakan bahwa
bila pasangan yang berzina lalu hamil dan punya, namn kemudian mereka menikah
secara sah, maka hubungan nasab antara anak dan ayahnya akan kembali
tersambung. Anak itu sah sebagai anak dengan mendapatkan semua hak-haknya. Dan
ayah itu sah sebagai ayah dengan semua hak dan kewajibannya.
Misalnya, ayah tetap bisa menjadi
wali bagi anak wanitanya, di dalam masalah pernikahannya. Demikian juga, anak
berhak atas harta warisan dari ayahnya, bila ayahnya itu meninggal dunia. Sebab
hubungan ayah-anak sah secara syar’i.
Sebaliknya, bila pasangan itu tidak
pernah melakukan pernikahan secara sah setelah perzinaan, para ulama mengatakan
bahwa hubungan ayah dan anak menjadi tidak sah. Hubungan nasab antara mereka
tidak tersambung kembali. Sehingga hal ini berpengaruh kepada hukum perwalian
dan warisan. Ayah itu tidak berhak jadi wali bagi anaknya. Dan anak itu tidak
berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Sebab secara hukum Islam, keduanya
dipandang sebagai bukan ayah dan anak.
Jadi seharusnya, dalam kasus seperti
ini, pasangan zina itu dinikahkan saja secara resmi.
Memang ada sementara kalangan yang
mengharamkan laki-laki menikah dengan wanita yang berzina. Pendapat ini
berlandaskan atas dalil berikut:
أن
النبي صلى الله عليه و سلم قال: لا توطأ امرأة حتى تضع
Nabi SAW bersabda,"Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan."
Nabi SAW bersabda,"Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan."
(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh
Al-Hakim).
Pendapat ini benar apabila bukan
laki-laki itu yang menzinainya. Adapun bila memang laki-laki itu yang
menzinainya, tentu saja tidak ada larangan. Pembedaan ini dijelaskan di dalam
hadits lainnya, yaitu:
لا
يحل لامرئ مسلم يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقى ماءه زرع غيره
Nabi SAW bersabda, "Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain."
(HR.Abu
Daud dan Tirmizy).
Yang dimaksud dengan menyirami
dengan airnya pada tanaman orang lain adalah menyetubuhi wanita yang hamil oleh
orang lain. Adapun bila wanita itu hamil karena dirinya sendiri, baik sebelum
atau setelah pernikahan, tidak menghalanginya untuk menyetubuhinya. Adapun
menyetubuhi sebelum pernikahan itu berdosa, memang benar. Akan tetapi tidak
menjadi halangan bagi mereka untuk menikah setelah itu dan melakukan hubungan
suami istri.
Hal itulah yang difatwakan oleh
kebanyakan ulama, antara lain berdasarkan hujjah berikut ini.
1. Abu Bakar As-Shiddiq ra. dan Umar
bin Al-Khattab ra. serta para fuqaha umumnya, menyatakan bahwa seseorang
menikahi wanita yang pernah dizinainya adalah boleh. Dan bahwa seseorang pernah
berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
2. Adanya Hadits Nabawi yang
membolehkan hal itu
Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah
SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan
berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor
dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal."
(HR Tabarany dan Daruquthuny).
3. Hadits lainnya
Seseorang bertanya kepada Rasulullah
SAW, "Istriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab,
"Ceraikan dia." "Tapi aku takut memberatkan diriku."
"Kalau begitu mut`ahilah dia."
(HR Abu Daud dan An-Nasa`i)
4. Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa
bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya,
hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang
menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
5. Pendapat Imam Malik dan Imam
Ahmad bin Hanbal
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa ‘iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa ‘iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun.
6. Pendapat Imam Asy-Syafi’i
Adapun Al-Imam Asy-syafi’i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.
Adapun Al-Imam Asy-syafi’i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.
7. Undang-undang Perkawinan RI
Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
0 comments:
Post a Comment