AL-MAQAM
AL-MAHMUD ADALAH SYAFAAT BUKAN TEMPAT DUDUK NABI SALLALLAHU’ALAIHI WA SALLAM DI
ATAS ARSY
Sejauh mana kebenaran tafsir Imam
Mujahid dalam firman Ta’ala, "Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke
tempat yang terpuji." (QS. Al-Isra: 79). Yaitu Allah Ta’ala mendudukkan
Muhammad sallallahu’alaihi wa sallam bersamaNya di Kursi-Nya. Atau bahwa
Muhammad Rasulullah didudukkan Tuhan bersama-Nya di Arsy?
Alhamdulillah
Masalah duduknya Nabi
sallallahu’alaihi wa salalm di atas Arsy, sejak dahulu hingga sekarang masih
menjadi bahan perdebatan. Seyogyanya diperhatikan sebelum membicarakan benar
tidaknya perkataan ini:
Pertama,
Tidak ada ketetapan hadits yang
dapat diterima sanadnya dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam akan duduknya
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam di atas Arsy. Dan kaidahnya yang dijadikan
patokan Ahlus sunnah wal jama’ah adalah apa yang didiamkan oleh Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam berupa khabar gaib, maka tetap dibiarkan pada sisi
gaibnya, tidak diperkenankan membahasnya dengan cara pasti dan penuh keyakinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, ‘Hadits duduknya Rasulullah sallallahu’alihi wa sallam di
atas Arsy, diriwayatkan oleh sebagian orang dari banyak jalan secara marfu’
(sampai ke Nabi), dan kesemuanya itu palsu (maudhu)." (Dar’u Ta’arud
Al-Aql Wan Naql, 3/19)
Ad-Dzahabi rahimahullah berkata,
‘Masalah duduknya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam di atas Arsy, tidak ada nash
yang kuat (tsabit). Bahkan dalam bab ini ada hadits lemah." ( Al-Uluw,
2/1081, no 422)
Kedua,
Penafsiran Al-Qur’anul-Karim dengan
apa yang ada dalam sunnah yang shahih, lebih utama untuk diikuti daripada
mengambil penafsiran salah seorang tabiin –meskipun dengan keilmuan setaraf
Mujahid rahimahullah- khususnya kalau kita mengetahui telah diriwayatkan dari
Mujahid sendiri bahwa beliau telah menafsiri ayat yang sesuai dengan hadits dan
atar shoheh seperti yang akan dikutip berikut ini,
فعَنْ
كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : ( يُبْعَثُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَكُونُ أَنَا
وَأُمَّتِي عَلَى تَلٍّ ، وَيَكْسُونِي رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى حُلَّةً
خَضْرَاءَ ، ثُمَّ يُؤْذَنُ لِي ، فَأَقُولُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ أَقُولَ ،
فَذَاكَ الْمَقَامُ الْمَحْمُودُ (رواه أحمد في المسند (25/60) طبعة
مؤسسة الرسالة)
“Dari Ka’b bin Malik
radhillahu’anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
"Manusia dibangkitkan pada hari kiamat. Maka aku dan umatku di atas bukit,
dan Tuhanku Tabaroka Wata’ala memakaikanku mahkota hijau. Kemudian aku diberi
izin. Maka saya mengatakan apa saja yang yang saya katakan. Itu adalah maqam
mahmud (tempat yang terpuji)." HR. Ahmad di Musnad, 25/60. Cetakan
Muassasah Ar-Risalah)
Peneliti cetakaan ini mengatakan,
‘Sanadnya shahih sesuai persyaratan Muslim, para perawinya terpercaya yaitu
para perawi Bukhori Muslim kecuali Yazin bin Abdu Rabbi –beliau adalah
Az-Zubaidi Al-Himsy- dari rawi Muslim. Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin
Malik, diperselisihkan mendengarkannya dari kakeknya. Yang kuat adalah beliau
mendengarkan darinya.’
Diantara atsar shahih mauquf (sampai
ke shahabat) adalah perkataan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma,
إِنَّ
النَّاسَ يَصِيرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جُثًا ، كُلُّ أُمَّةٍ تَتْبَعُ
نَبِيَّهَا ، يَقُولُونَ يَا فُلاَنُ اشْفَعْ ، حَتَّى تَنْتَهِي الشَّفَاعَةُ
إِلَى النَّبِي صلى الله عليه وسلم ، فَذَلِكَ يَوْمَ يَبْعَثُهُ اللَّهُ
الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ (رواه البخاري، رقم 4718)
“Sesungguhnya manusia berjalan
merangkak pada hari kiamat. Setiap umat mengikuti nabinya. Mereka
mengatakan, ‘Wahai si fulan berikanlah syafaat. Sampai syafaat selesai di Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam. Itu adalah hari dimana Allah membangkitkannya pada
Maqam mahmud (tempat terpuji).’ (HR. Bukhari, 4718. Dan beliau membuat bab
dengan menulis ‘Semoga Tuhanmu membangkitkanmu di tempat terpuji’ pilihan
beliau dari penafsiran dari sisi ini.
Dan penafsiran ayat dengan maqam
syafaat udzma adalah diringkas oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam ‘Tafsir
Al-Qur’an Al-Adzim, 5/103. Beliau menyebutkan banyak orang dari kalangan shabat
dan tabiin. Ibnu Jarir berkomentar di dalamnya, ‘Bahwa ini adalah pendapat
kebanyakan ahli tafsir.’ Ini adalah pendapat yang utama dalam menafsirkan ayat
ini.
Ketiga,
Diceritakan dari sebagian ulama
bahwa jika perkataan Mujahid ada ada yang mengingkarinya, tidak berarti mereka
berpendapat seperti itu. Hal itu dianggap sebagai mempermudah terhadap riwayat
tentang keutamaan-keutamaan (fadha'il).
Diceritakan Abu Muhammad bin Basyar
dari Abdullah bin Ahmad dari ayahnya, ‘Bahwa biasanya diperlihatkan kepadanya
hadits, dan mengatakan ini diriwayatkan ini dan ini seorang (rowi) disebutkan.
Kalau diperlihatkan hadits lemah. Beliau mengatakan kepadanya, buanglah.
Kemudian diperlihatkan kepadanya hadits Mujahid dan dilemahkan. Dia berkata, ‘Wahai
ayah, apa saya buang? Beliau menjawab, ‘Jangan. Hadits ini ada keutamaan. Maka
pahalanya akan mengalir jangan engkau buang.’
Dinukil di kitab ‘Ibthal
At-Ta’wilat, hal. 489.
Penukilan ini menunjukkan sebab
dikenalnya atsar Mujahid, yaitu karena didiamkan sebagian imam hadits seperti
Imam Ahmad dari atsar ini. Maka sebagian ulama menyangka bahwa sikap mereka itu
berarti menerima isinya dan meyakini kandungannya. Sehingga ada yang
mengatakan bahwa ia termasuk atsar yang diterima. Padahal kenyataannya bukan
begitu. Kebanyakan ulama dengan jelas mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh
Mujahid tidak benar.
Ibnu Abdul Bar rahimahullah berkata,
"Dengan demikian, maka para ulama tafsir menafsirkan firman Allah,
( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَحْمُوداً ) adalah syafaat." Sedangkan
Mujahid meriwayatkan bahwa 'Maqam Mahmud' adalah mendudukkan beliau
bersama-Nya di Arsy pada hari kiamat. Pendapat ini diingkari para ulama dalam
penafsiran ayat ini. Yang menjadi pandangan para ulama dari kalangan
shahabat, tabiin, dan generasi kholaf setelahnya bahwa 'Maqam Mahmud' adalah
maqam (kedudukan) karena beliau memberikan syafaat kepada umatnya."
Terdapat pula riwayat dari Mujahid
seperti pendapat kelompok para ulama seperti itu. maka dengan demikian, masalah
ini telah menjadi ijma (konsensus) tentang penafsiran ayat dari para
ulama yang berpedoman pada Al-Quran dan sunnah.
Disebutkan dari Ibnu Abi Syaibah
dari Syababah dari Warqa’ dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid terkait dengan
firman Allah Ta’ala, ( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَاماً مَحْمُوداً ), dia
berkata, ‘Yang dimaksuda adalah Syafaat Muhammad sallallahu’alaihi wa sallalm.’
(At-Tamhid, 19/63-64).
Imam Ad-Dzahabi rahimahullah
berkata, ‘Di antara yang paling diigkari dari riwayat Mujahid adalah
penafsirannya terhadap firman-Nya, ( عَسَى أَنْ
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَحْمُوداً ) , dia berkata, ‘Mendudukkan beliau bersama-Nya di Arsy.’
(Mizanul Al-I’tidal, 3/439)
Beliau rahimahullah menambahkan,
‘Apa yang ditafsirkan oleh Mujahid dari ayat yang telah kami sebutkan, sebagian
ahli kalam mengingkarinya.' Al-Marwadzi pada awalnya berusaha sekuat
tenaga untuk membela pandangan ini, bahkan mengumpulkannya dalam satu kitab.
Lalu dia telusuri riwayat Mujahid dari jalur Laits bin Abi Sulaim dan ‘Atho’
bin As-Saib dan Abi Yahya Al-Qottat dan Jabir bin Yazid. Maka akhirnya beliau
terbuka (wawasannya) –semoga Allah menjaga anda dari hawa nafsu- bagaimana
seorang ahli hadits dapat berlebih-lebihan dengan mengambil atsar yang munkar.’
(Al-Uluw, 2/1081-1090. No/422-426)
Syekh Al-Albany rahimahullah
berkata, ‘Di antara yang menunjukkan akan hal itu adalah terdapat dalam
hadits-hadits shahih bahwa maqam mahmud adalah syafaat secara umum yang
dikhususkan untuk Nabi kita sallallahu’alaihi wa sallam. Yang mengherankan dan
mencengangkan akal, sebagian ulama mutaqaddimin (masa lalu) ada yang memberi
fatwa dengan atsar Mujahid ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ad-Dzahabi
bukan hanya dari satu orang saja. Bahkan sebagian ahli hadits berlebihan dengan
mengatakan, ‘Kalau sekiranya ada seseorang bersumpah dengan sumpah cerai tiga
bahwa Allah mendudukkan Muhammad sallallahu’alaihi wa sallam di Arsy, dan dia
meminta fatwa dariku, maka akan saya katakan, ‘Engkau benar dan tepat!.
Sikap berlebih-lebihan seperti ini
menjadikan orang yang meniadakan sifat (Allah) akan terus menerus dalam
sikapnya dengan meniadakan (sifat). Dan mencela ahlus sunnah yang menetapkan
(sifat-Nya), serta menfitnah dengan menyerupakan (tasybih) dan
menfisualisasikan (tajsim). Agama yang benar adalah berada di antara
berlebih-lebihan dan terlalu menggampangkan. Semoga Allah merohmati seseorang
yang beriman dengan apa yang benar dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dalam
masalah sifat atau lainnya yang layak dan hakekat untuk Allah Ta’ala. Tidak diterima
hal itu yang tidak benar dari Beliau sallallahu’alaihi wa sallam seperti hadits
ini (yakni hadits ‘Dan saya didudukan di atas Arsy). Apalagi atsar seperti
ini.’ (Sil-Silsilah Ad-Dhoifah, 865)
Syekh Al-Albany rahimahullah juga
melanjutkan, ‘Periwayatan hadits lemah dari sebagian ahli hadits termasuk
sesuatu yang dicela dari orang-orang yang tidak setuju dengannya. Meskipun
mereka melakukan yang lebih jelek dari itu sebagaimana yang dijelaskan ole
Syeikhul Islam.
Diantara yang dikenal orang yang
diambil darinya pada masa sekarang dan menjadikan alasan dalam penyelewengannya
adalah Syekh Al-Kautsari yang dikenal permusuhan keras dengan ahlus sunnah dan
hadits. Memberikan julukan kepada mereka dengan julukan ‘Al-Hasyawiyah dan
Al-Mujassamah (menfisualisasikan)’ maka dia dengan itu berbuat zalim dan
kebohongan kepada mereka.
Akan tetapi –kebenaran dikatakan-
terkadang apa yang diriwayatkan oleh sebagian mereka didapatkan hadits dan
atsar yang menguatkan atas kebohongannya. Seperti hadits yang diriwayatkan tentang
penafsiran firman Allah, ( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ
رَبُّكَ مَقَاماً مَحْمُوداً )
berkata, ‘Saya didudukkan di Arsy. Yang benar dalam penafsiran maqam mahmud
tidak ragu lagi adalah syafaat. Dan hal ini yang dishahihkan oleh Imam Ibnu
Jarir di tafsirnya, kemudian Qurtuby. Dan ini yang tidak disebutkan oleh
Al-Hafidz Ibnu Katsir selainnya dan menyebutkan hadits yang tadi disebutkan.
Bahkan riwatyat Mujahid sendiri
terdapat dua riwayat dalam riwayat Ibnu Jarir. Sementara atsar tadi tidak ada
yang dapat dianggap. –Ad-Dzahabi – telah menyebutkan bahwa beliau meriwayatkan
dari Laits bin Abu Sulaim dan Atho’ bin As-Saib, dan Abu Yahya Al-Qattat,
Jabirbin Yazid. Dua orang pertama (hafalannya) campur baur sementara dua orang
terakhir adalah lemah. Bahkan yang terakhir itu ditinggalkan (matruk)
disangsikan (muttaham). Ringkasan pembahasan, bahwa perkataan Mujahid ini
–meskipun sah dari beliau- tidak diperkenankan dijadikan keyakinan agama dan
akidah selagi tidak ada yang menguatkan dari Kitab dan Sunnah.’ (Mukhtasor
Al-Uluw, hal. 14-20).
Dari sini telah jelas, bahwa
penafsiran yang benar tentang 'Maqam mahmud' adalah maqam syafaat. Bukan
seperti yang ada dalam atsar dari Mujahid rahimahullah.
Wallahu’alam .
0 comments:
Post a Comment