Apa
Arti Allah Bersemayam di Atas Arsy?
Assalamualaikum Wr Wb,
Semoga Allah melimpahkan kesehatan dan kemudahan untuk Pak Ustad dan team di eramuslim
Ana mo nanya masalah aqidah yaitu Allah bersemayam di Arsy, karena ada beberapa pendapat yang saling berbeda.
Mungkin Pak Ustadz bisa memberikan penjelsan lengkap dengan hadits yang mendukungnya.
Jazakallah khairan katsira
Abu Ihsan
Semoga Allah melimpahkan kesehatan dan kemudahan untuk Pak Ustad dan team di eramuslim
Ana mo nanya masalah aqidah yaitu Allah bersemayam di Arsy, karena ada beberapa pendapat yang saling berbeda.
Mungkin Pak Ustadz bisa memberikan penjelsan lengkap dengan hadits yang mendukungnya.
Jazakallah khairan katsira
Abu Ihsan
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salah satu kendala dalam memahami masalah ini adalah masalah bahasa. Kata-kata bersemayam itu apa artinya? Apa benar kata bersemayam itu terjemahan lurus dari kata istiwa’?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata ‘semayam’ punya beberapa arti. Di antaranya duduk, berkediaman dan
tersimpan. Sekarang coba kita terapkan semua arti kata semayam itu kepada Dzat
Allah SWT. Apakah Allah SWT duduk? Apakah Allah SWT berkediaman? Dan Apakah
Allah SWT tersimpan di suatu tempat tertentu?
Istiwa’ dalam Al-Quran
Mari kita kembalikan saja dulu
kepada informasi awal, di mana Allah SWT menyebutkan kata istiwa’ di dalam
Al-Quran. Di dalam Al-Quran beberapa kali disebutkan Allah beristiwa’, antara
lain:
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء
فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.
Al-Baqarah: 29)
Al-Quran terbitan Departemen Agama
RI menuliskan terjemahan dari kata istawa adalah berkehendak. Nah, anda mungkin
akan semakin bingung, apa yang dimaksud dengan Allah berkehendak menuju langit?
Terjemahan istawa menjadi bersemayam
bisa kita dapati di ayat lainya, misalnya:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di
atas ‘Arsy . (QS. Al-A’raf: 54)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di
atas Arasy untuk mengatur segala urusan. (QS. Yunus: 3)
Allah-lah Yang meninggikan langit
tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas
Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan (QS. Ar-Ra’d: 2)
Apakah Arti Istiwa’?
Mari kita buka kamus bahasa Arab.
Jangan pakai kamus Munjid, karena kamus itu bukan kamus standar, lagian kamus
itu buatan orientalis kafir yang wajahnya tidak pernah terkena air wudhu’.
Kalau wudhu’ saja tidak, apalagi shalat. Bagaimana mungkin seorang muslim
memakai kamus buatan orang yang tidak pernah shalat?
Setidaknya sebagai muslim, kamus
bahasa Arab yang kita pakai adalah kamus Al-Mu’jamul Washith, atau boleh juga
kamus Lisanul Arab.
Di dalam kamus Al-Mu’jamul WAshith
halaman 466, kata istawa bermakna istaqrra wa tsabata. Istaqarra artinya
menetap dan tsabata artinya menetap.
Sedangkan kata istawa ‘ala artinya
adalah ‘alaa wa sha’ada, artinya tinggi dan naik. Kalau istawa fulan artinya
orang yang telah matang kepemudaannya. Kalau istawa at-tha’amu artinya makanan
itu telah matang.
Makna Istiwa’ Menurut Para Ulama
Kalau kita buka kitab tafsir,
katakanlah Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran karya Al-Qurthubi, pada jilid 1
halaman 381, di sana disebutkan tentang masalah yang anda tanyakan. Al-Qurthubi
menjelaskan bahwa pengertian kata istiwa pada ayat 29 dari surat Al-Baqarah itu
memang musykilah tersendiri. Setidaknya, menurut beliau, orang-orang terpecah
menjadi tiga kelompok pendapat.
1. Pendapat Pertama: Jumhur Ulama
Jumhur Ulama berpendapat bahwa kalau
kita menemukan ayat-ayat seperti ini, misalnya tentang bersemayamnya Allah SWT,
maka sikap yang paling tepat bagi kita adalah membacanya, lalu mengimaninya,
tetapi tidak menafsirkannya.
Salah satu yang mewakili sikap ini adalah Al-Imam Malik rahimahullah. Ketika ada orang datang kepadanya menanyakan hal-hal seperti ini, beliau menjawab tegas, “Istiwa’ itu bukan hal yang majhul (tidak dikenal), namun teknisnya (al-kaifu) tidak bisa dipikirkan secara akal (ghairu ma’qul), sedangkan mengimaninya wajib, dan bertanya tentang itu adalah bid’ah.
Salah satu yang mewakili sikap ini adalah Al-Imam Malik rahimahullah. Ketika ada orang datang kepadanya menanyakan hal-hal seperti ini, beliau menjawab tegas, “Istiwa’ itu bukan hal yang majhul (tidak dikenal), namun teknisnya (al-kaifu) tidak bisa dipikirkan secara akal (ghairu ma’qul), sedangkan mengimaninya wajib, dan bertanya tentang itu adalah bid’ah.
2. Pendapat Kedua: Musyabbihin
Sebagian kalangan yang kita sebut
musyabbihin bersikap agak lain. Dalam pandangan mereka, kalau ada ayat seperti
ini, kita harus membacanya, lalu menafsirkannya sesuai dengan kemungkinan
bahasa.
3. Pendapat Ketiga: Ta’wil
Sebagian yang lain lagi mengatakan
bahwa ayat seperti ini kita baca namun kita ta’wilkan. Serta kita ganti
kemungkinannya kepada bentuk dzhahirnya.
Pendapat Pilihan
Dibandingkan dengan pendapat kedua
dan ketiga, kita lebih tepat untuk mengambil pendapat pertama. Selain nyaris
seluruh ulama berada pada pendapat pertama, memang pendapat ini adalah pendapat
yang paling tengah-tengah.
Kita tidak menyamakan Allah dengan
makhluk, tetapi juga tidak menolak keterangan dari Allah SWT sendiri.
Kalau kita menafsirkan kata istiwa’
dengan duduk sebagaimana duduknya kita manunisa, maka jelas sekali kita telah
melakukan tasybih, yaitu menyamakan atau menyerupakan Allah SWT dengan makhluk.
Dan tentu hal itu haram hukumnya. Sebab Allah SWT sendiri telah menegaskan
bahwa Diri-Nya tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya.
Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. Asy-Syura: 11)
Dan tidak ada satu pun yang
sebanding dengan-Nya (QS. Al-Ikhlash: 4)
Namun kita tetap tidak menolak bahwa
Allah SWT melakukan istiwa’ (duduk, bersemayam), karena memang Allah SWT tegas
menyebutkannya di dalam ayat Quran. Bahkan kami malah berpendapat bahwa
sebaiknya kita pun tidak perlu menterjemahkan ke dalam bahasa lain. Kita sebut
saja Allah melakukan istiwa’, sesuai dengan bahasa aslinya yaitu bahasa Arab.
Agar jangan lagi terjadi noise atau
kesalahan dalam menterjemahkan. Jangan kita bilang bersemayam, duduk, atau
terjemahan lain. Sebab dari terjemahan itu seringkali timbul salah pengertian
dan salah paham yang berat.
Sebagaimana kita akan jauh lebih
bijak kalau menyebut istilah shalat ketimbang sembahyang atau praying, istilah
shaum ketimbang puasa atau fasting, isitlah haji ketimbang pilgrimate. Lebih
aman dan lebih selamat dari kesalahan interpretasi.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
http://idrusali85.wordpress.com/2008/07/19/apa-arti-allah-bersemayam-di-atas-arsy/
0 comments:
Post a Comment